Laman

Wednesday 1 June 2011

Kisah-Kisah Menarik

Ketika Yusuf Mansur Mencari Tuhan Yang Hilang

“Ketika mereka melupakan apa-apa yang Kami peringatkan kepada mereka, justru Kami bukakan pintu segala kesempatan buat mereka. Maka kemudian ketika mereka merasa senang, merasa gembira, dengan keberhasilan, kesuksesan mereka, tiba-tiba Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, jadilah mereka terdiam berputus asa.” (Al An’am: 44)
Itulah ayat yang tercetak di sampul belakang buku Mencari Tuhan yang Hilang karya Ustadz muda Yusuf Mansyur. Dimana 35 kisah perjalanan spiritual  pimpinan Pondok Pesantren Daarul Quran Bula Santri, Cipondoh, Tangerang dan pimpinan pengajian Wisata Hati ini dalam menepis azab dan menuai rahmat di dalamnya, akan membuat Anda terhenyak, terharu, tercenung. Untuk kemudian merenung. Bahwa kita, bisa jadi termasuk salah satu hamba-Nya yang lalai.
Lalai bisa dimulai dari hal-hal kecil. Bisa dimulai dari menunda-nunda waktu beribadah, hanya karena sedang menjalani rapat atau wawancara kerja. Bisa juga berarti tak bersyukur atas semua nikmatNya yang telah diterima. Bisa pula berarti tak usai berkeluh kesah atas semua derita. Dan bisa pula, tak bercermin atas semua laku perbuatan yang buruk rupa.
Lalai-lalai kecil inipun menggunung. Membawa banyak dampak tak sedap yang disebut-sebut sebagai neraka dunia. Mulai dari putus kerja, sakit yang tak kunjung pulih, belitan hutang, sulit mendapatkan jodoh, ketidakharmonisan rumah tangga, dan setumpuk masalah lainnya.  Secuil neraka dunia inilah yang sempat dicecap oleh seorang Yusuf Mansyur.
***
19 Desember tiga puluh dua tahun yang lalu, Yusuf Mansyur terlahir dari pasangan Abdurrahman Mimbar dan Humrif’ah. Dibesarkan dalam keluarga Betawi yang berkecukupan, Yusuf tumbuh menjadi sosok yang cerdas, namun juga pembangkang. Lulusan terbaik Madrasah Aliyah Negeri 1 Grogol, Jakarta Barat, tahun 1992 ini pernah kuliah di jurusan Informatika namun berhenti tengah jalan karena lebih suka balapan motor. ”Semua hal saya lakukan dengan pertimbangan yang konyol; ’bagaimana nanti saja’ atau ’yang penting selamat dulu’, arogan dan tanpa perhitungan. Tidak pernah saya berpikir apakah yang saya lakukan itu bertentangan dengan hati, melanggar hukum, moral atau tidak,” (hal 1).
Pada tahun 1996, Yusuf terjun di bisnis Informatika. Sayang bisnisnya malah menyebabkan ia terlilit utang berjumlah miliaran. Gara-gara utang itu pula, Ustadz Yusuf merasakan dinginnya hotel prodeo selama 2 bulan. Setelah bebas, Ustadz Yusuf kembali mencoba berbisnis tapi kembali gagal dan terlilit utang lagi. Cara hidup yang keliru membawa Ustadz Yusuf kembali masuk bui pada tahun 1998. ”Di hari kebebasan saya, 25 Juni 1999, abang saya berkata keras kepada saya bahwa sudah saatnya saya melakukan pertaubatan yang serius. Meski hanya sempat menjadi penghuni tahanan tingkat polisi sektor, di mata abang saya hal itu sudah sangat memprihatinkan. Cukup memalukan. Saya dilahirkan dalam keluarga kyai. Saya dibesarkan dengan pendidikan agama yang tidak kurang-kurangnya, plus pengawasan yang lumayan ketat. Tapi kok ya sempat ditahan. Dua kali lagi!
Nah, pada kali kedua inilah abang saya tidak bisa lagi mentolerir. Dia menganggap, bila kali ketiga kemudian terjadi, maka saat itulah riwayat saya akan berakhir.
Saya sempat ragu. Bagaimana mungkin saya bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat, berhenti dari kegiatan-kegiatan kejahatan, merekayasa sesuatu, mencari korban-korban baru, merampok mereka secara halus, sementara banyak hal yang masih harus saya selesaikan. Dan di benak saya hingga saat itu, bahwa tidak mungkin masalah saya selesai kecuali dengan melakukan kejahatan yang lebih besar lagi, yang mana saya hasilnya saya harap bisa menutup semua keburukan saya, untuk kemudian baru berhenti total.
Pikiran-pikiran seperti itulah yang juga terus mendorong saya berbuat keburukan dan aniaya. Tapi yang sesungguhnya terjadi, justru mengantar saya kepada keterpurukan yang luar biasa. Masalah saya semakin besar.” (hal 2-3).
Namun malam itu sekaligus menjadi malam yang istimewa bagi seorang Yusuf Mansyur. ”Malam itu, tanpa sengaja, saya membuka lembaran Al Quran. Mata saya tertumbuk pada ayat 1 sampai dengan ayat 6 surat At Taubah. Saya mengambil poin-poin penting. Ada kata-kata kunci yang membuat saya jadi tertunduk dan menangis sejadi-jadinya. Yaitu, kebebasan; pelepasan dari kemusyrikan yang tidak saya sadari; statement Allah bahwa bertaubat itu lebih baik; memenuhi perjanjian; dari sifat Allah, Ghafur dan Rahim.
Terus, ayat 3-nya, seolah juga tahu bahwa saya ragu untuk bertaubat gaya abang saya, dengan menyatakan: ’Apapun kejadiannya, berhenti total dari semua kejahatan dan perilaku buruk itu adalah lebih baik.’  Kemudian ayat 2-nya, memberi satu isyarat bahwa saya harus berjalan dulu selama 4 bulan (dalam proses pertaubatan).” (hal 4-5)
Seketika, pecahlah tangis Yusuf.
Air mata saya mengalir deras. Di tengah kezaliman yang saya lakukan, di tengah kedurhakaan dan kemaksiatan yang saya perbuat, Ia, yang Maha Suci, masih sudi ’menengok’ ciptaanNya ini. Dia memberi motivasi, di tengah keputusasaan. Dia juga menemani saya di tengah kesendirian. Dan bahkan di kemudian hari, Dia pun menegur saya secara halus di tengah kelalaian dan kesalahan-kesalahan saya yang baru.” (hal 4)
Malam itu sekaligus menjadi malam yang istimewa bagi seorang Yusuf Mansyur. Karena ”malam itu, saya ’berbicara’ dengan Tuhan.” (hal 4).
***
”Dia tidak hilang dan tidak menghilang. Dia selalu menunggu, selalu mengulurkan tanganNya. Hati yang kotor inilah yang menghalangi melihatNya,” (hal 4)
Itulah rintihan lirih Yusuf dalam kesendiriannya, yang kemudian mengawali 35 perjalanan spiritualnya dalam buku ini. Dimana Yusuf memilih menggunakan nama Luqman Hakim. ”Tokoh Luqman Hakim dalam buku ini bukanlah Luqman Hakim yang diabadikan oleh Allah dalam ayat-ayat Al Quran, sosok tokoh yang saya ciptakan sendiri, sebagai media penuturan saya.” (hal 7)
Perjalanan Luqman Hakim pun dimulai.

No comments:

Post a Comment